Kiat Mengatasi dan Melampaui RASA TAKUT dengan Objek Perenungan Berupa Dhamma, SELF-HELP

Ada yang tahu, arti makna “NASIONALIS”?

“Nasionalis”, bukan bermakna menjadi pendukung kesebelasan tim nasional saat Piala Dunia, juga bukan menjadi “polisi moral” yang sibuk mengutuk dan menghakimi bangsa lain—itu “nasionalis” yang sempit, dangkal, bila tidak dapat disebut sebagai “picik”.

“Nasionalis” bermakna : tidak menyakiti, tidak merugikan, dan tidak melukai sesama anak bangsa.

Sanggupkah Anda?

Namun, berapa banyak diantara masyarakat kita di Indonesia, yang benar-benar berjiwa atau menjiwai makna “nasionalis”?

Mereka bahkan saling melukai, saling merugikan, dan saling menyakiti—sekalipun satu ras, satu agama, dan satu warna kulit, sekalipun juga itu untuk urusan semacam suporter sepakbola dalam pertandingan liga lokal antar sesama anak bangsa, yaitu tawuran antara suporter.

Bagaimana untuk urusan yang lebih besar, seperti urusan terkait uang, terkait sengketa tanah, terkait isu-isu agama, dan lain sebagainya?

Ajahn Brahm pernah berkata, gaji atau upah adalah “uang sogokan”. Pernah suatu waktu saya bekerja di sebuah perusahaan yang pemiliknya adalah orang Jepang. Kepala HRD di perusahaan tersebut, ialah Warga Negara Indonesia, namun telah ternyata ia begitu represif terhadap sesama anak bangsa, hanya karena “disogok” dengan “upah” oleh sang Japanese.

Seseorang, tidak dapat dinilai dari ras ataupun warna kulitnya, namun dari niat hati dan ketulusannya terhadap negara bersangkutan. Penelitian genetik atau genom baru-baru ini membuktikan, tiada ada seorang pun warga di Indonesia yang murni 100% keturunan nenek-moyang pribumi nusantara—kesemuanya adalah campuran “antar ras” dan “antar suku bangsa” sejak ribuan tahun lampau akibat gelombang pendatang asing keluar-masuk Nusantara.

Dalam keseharian, tidak jarang kita berjumpa atau berhadapan dengan orang-orang yang toxic, yang jahat, yang egois, yang suka menyakiti kita, melukai kita, maupun merugikan kita.

Tidak jarang pula mereka “zolim namun teriak zolim”.

Akibatnya, saking banyaknya anggota masyarakat kita yang berperilaku kurang beradab demikian, membuat kita seringkali terbiasa berkecil hati dan kian berkecil hati yang melemahkan mental kita—alias menjelma “takut” dan “traumatik” yang kian terakumulasi dalam keseharian.

Untuk itu, kita akan membahas tips atau kiat untuk menghadapi, mengatasi, dan melampaui rasa takut yang bersarang dalam diri kita.

Kiat pertama, ialah menggunakan “mantra”, yakni ucapkan kalimat berikut secara berulang-ulang dalam hati Anda : “Dengan KEKUATAN MENTAL, KEKUATAN MENTAL, KEKUATAN MENTAL, ...”

Kiat kedua, ialah berupa merenung dengan objek perenungan berupa satu atau beberapa khotbah / ajaran Sang Buddha (Dhamma).

Salah satu objek Dhamma yang dapat dijadikan objek perenungan, ialah khotbah Sang Buddha berikut: [dikutip dari Dhammapada dan Angguttara Nikaya]

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

~0~

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

~0~

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.

(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji.

Ulangi kembali :

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

~0~

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

~0~

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.

(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji.

Ulangi kembali, ulangi kembali secara berulang-ulang, dan begitu untuk seterusnya, sampai Anda menemukan kekuatan dibalik Dhamma yang menjadi objek perenungan Anda ini.

Semoga bermanfaat dan selamat berlatih secara rutin Sobat-ku semua.