Kita punya hak (asasi) untuk tidak diganggu, sekalipun oleh mereka yang mengatasnamakan kegiatan / ritual agama—terlebih oleh umat “AGAMA DOSA” yang justru mempromosikan PENGHAPUSAN DOSA (bagi PENDOSA, tentunya) alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari kejahatan.
Kita
tidak perlu minta izin siapapun, untuk “TIDAK DIGANGGU”.
“TIDAK DIGANGGU”—terlebih “diganggu” oleh umat “AGAMA DOSA”—merupakan hak asasi manusia setiap individu.
Keyakinan,
adalah urusan personal alias internal diri masing-masing. Ketika keyakinan
menjelma bersifat mengganggu, merugikan, ataupun melukai pihak-pihak lainnya,
maka itu bukanlah lagi keyakinan, namun IDEOLOGI.
Coba
kita lihat paham fas!sme maupun k0munisme, sifat keyakinan doktrin-doktrinnya
bersifat eksternal, karenanya dinamakan sebagai IDEOLOGI.
Ketika
sesuatu yang secara konvensional dipandang sebagai “agama”, namun telah
ternyata ajaran didalamnya mengandung paham-paham kebencian terhadap kaum yang
berbeda, bahkan sampai masuk dalam taraf “kekerasan fisik”, maka itulah yang
dinamakan sebagai “IDEOLOGI yang menyaru sebagai AGAMA”.
Ketika
ada preman, tanpa diundang namun datang meminta sejumlah upeti dari pemilik
toko, dimana pemilik toko tidak bersedia memberikan “uang keamanan”, beberapa
waktu kemudian toko tersebut mengalami vandalisme hingga pencurian.
“TIDAK
DIGANGGU” bukanlah bersifat permohonan, terlebih harus meminta izin dari
siapapun. Sehingga, perbuatan sang preman tersebut sejatinya merupakan aksi
pemerasan, murni tindak pidana alias kejahatan, dimana pelakunya disebut
sebagai “kriminal”.
Pemerasan
kalangan preman, bersifat terselubung (mengatasnamakan “uang keamanan” alias
agar “tidak diganggu”), membuat banyak masyarakat merasa diresahkan bila tidak
menuruti keinginan sang preman.
Trus,
kita musti bilang “terimakasih karena tidak mengganggu kami”, gitu?
Pernah
suatu hari, saya menawar sebuah roti dari seorang pedagang roti gerobakan.
Terjadi tawar-menawar harga, lalu saya katakan : “Apa tidak apa-apa jika saya tawar
dengan harga segini?”
“Ngak
apa-apa, yang penting sama-sama ikhlas (pembeli ikhlas membayar sejumlah harga
jual-beli dan pihak penjual juga ikhlas melepaskan barang jualannya dengan
harga tersebut),” demikian sahut sang pedagang roti.
Itulah
sebabnya, kalangan preman jauh lebih hina dan lebih tercela daripada seorang
pedagang roti gerobakan—disamping pemalas dan pengecut (tidak berani bertarung
satu lawan satu dan tangan kosong di atas ring tinju).
Namun,
ideologi narsistik berikut ini, sungguh tidak dapat ditolerir:
“Saya
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK
ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami,
memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka
melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.”
[Hadist Tirmidzi No. 2533]
Trus,
kami selaku NON, harus mengucapkan “terimakasih” gitu, karena tidak MEMBUNUH
maupun MERAMPOK kami?
Hanya
Tuhan “Maha IMPOTEN”, yang butuh tangan-tangan manusia untuk mencelakai,
merugikan, dan menyakiti manusia-manusia lainnya.
Trus,
kami harus minta izin gitu, untuk meyakini keyakinan kami masing-masing?